Hatyoers Blog
Home About Friends Stuffs Dashboard Follow


Welcome!
hello there

We are Hatyoers.

Tagboard
Sweety Talkie


Credit
big claps!

Basecode by Anugerah Salsa.
Template by AisyahNurul
Owner Cewe Hatyos
Does Everybody Love Me?
Selasa, 25 Maret 2014 | 0 Girl(s)

Does Everybody Love Me? (HanakaiGaze, Oneshoot)


Author: HanakaiGaze  a.k.a Uruhana (Hanifah Schiffer Kurosaki on Facebook)
Cast: The GazettE terutama Kai
Pairing(s): as you know, reixruki aoxuru kaixentahlah
Disclaimer(s): Kai punya Gue! Uru juga! Embat noh sisanya XD – yang penting semua makhluk makhluk ini millik Allah SWT
Chapter: Oneshoot
Genre: MalexMale Relationship, amburadul
Tag(s): the GazettE, fanfic, oneshoot, bahasa Indonesia, typo(s), relationship
Rating: ??

Cuma repost dari Blog HanakaiGaze. fanfic pertama nie di bb-vkei-fic ^o^/
Warning! Genre sedikit melenceng dari straight, malexmale relationship or anything, don’t like don’t read! RCL don’t forgettoo.. all is Kai’s PoV kecuali kalo diberi keterangan (mis: *Normal PoV*) nanti balik lagi ke Kai’s PoV klo udh-an


Douzooooo~~~



Yah, tampang melas mungkin terukir di wajahku. Ada saja hari yang menyambutku. Hari-hari penuh siksaan di jantungku. Andai saja aku sudah mati, mungkin aku tidak akan memendam dan melawan hari-hari menyebalkan ini. Nasibku sebagai single, kembali mengundangku di pagi yang suram ini.

Aku merasa selalu tidak ada yang beres di hatiku. Kedua permata kelereng di mataku selalu menatap ruang bernuansa merah dengan peredam suara setiap hari, dilengkapi dengan perbincangan-perbincangan yang membicarakan kencan, valentine, dsb. Serta daging merah kenyal yang selalu tersenyum dan tertawa, menampilkan gigi-gigi putih nya sambil membelai kulit yang seputih susu. Dan kata-kata cinta, honey, bunny, my sweet baby, oh babe, ikut menghiasi.




Sayangnya itu bukan untukku.




Aku selalu menahan hati ini bergejolak ketika melihat semua itu terjadi. Reita dan Ruki, selalu membelai pasangannya setiap pagi aku ke ruang studio. Aoi dan Uruha, mereka selalu berbincang-bincang dan terlihat sangat senang dihadapanku. Rasanya, jika hati ini memang bisa dikeluarkan dan memiliki wujud rohaniah yang terlihat jelas, aku yakin hati milik mereka bulat, harum, dan berwarna merah segar seperti bunga mawar, detak hati yang tenang. Sedangkan aku, mungkin hatiku tidak berbentuk dan hitam kelam, hancur. Detak hati yang tak terdetect lagi. Sedih rasanya, tapi memang sudah kewajibanku untuk melawannya. Melawan dan menahan hati yang basi dan hina ini.

“Kai-san! Kau sudah datang?”

“Tumbennya kamu telat…”

“Kamu sakit ya? Kok mukanya pucat?”

“Wajahmu pucat, istirahat saja dulu..”


Omong kosong.

Kata-kata sok panik dan sok perhatian itu membuatku semakin muak dan tetap terdiam dari pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka hanya memperdulikanku ketika aku terlihat pucat, padahal aku tidak butuh perhatian untuk wajah pucat ini. Aku hanya butuh pertanyaan untuk hati, hatiku. Aku yakin mereka sama sekali tidak memikirkanku ketika aku belum datang.


“tidak apa”


Aku segera duduk menuju kursi drum ku yang berada di sudut ruangan. Aku tetap diam dan tidak memberi aba-aba untuk latihan. Syukurlah, mereka juga tidak ada satupun yang menyadari mereka masing-masing untuk latihan. Mereka seperi anak kecil yang harus diingatkan untuk latihan. Jika tidak diingatkan, mereka tidak bergerak.


“Latihan sekarang?” Tanya Ruki yang mulai membetulkan kabe mic yang kusut. Aku merunduk dalam, berpura-pura mengecek foot drum dibawahku. Hey, drum, hanya kau satu-satunya yang masih ingin betah denganku. Aku tersanjung. Aku menjadi seperti orang gila yang berpikiran drum sebagai sahabat terbaik. Entahlah, tapi semakin hari aku semakin gila saja. Kemarin, aku tidur bersama stik drum. Gila, gila, gila. Nasibku.

“Kai?” sahut Ruki lagi yang memecah lamunanku. Aku menatapnya, dan mengangguk. “Before I Decay” aku hanya menginstruksikan lagu pertama yang akan dilatihankan.

----

Seusai latihan aku langsung pergi tanpa jejak dan menghilang entah kemana dari hadapan mereka. Aku masih belum punya tujuan untuk beristirahat. Apato ku terlalu jauh. Akhirnya kuputuskan untuk minum kopi di kedai seberang gedung PSC.

Aku menyeruput kopiku pelan. Sekaligus aku membeli rokok, tak lupa dengan koreknya. Hari yang membosankan. Aku harap aku tidak akan bertemu hari lagi, apalagi hari yang menyebalkan bersama orang-orang itu untuk laithan. Aku kembali meneguk kopiku pelan.


“Kai kamu kenapa sih?” Tanya Reita yang tiba-tiba berada di hadapanku, membuatku tersedak dan terbatuk-batuk akan kopi panas yang menggenang di kerongkonganku. Aku menatap nya pelan, menyembunyikan perasaanku terhadap partner Ruki itu.

“Tidak apa2.” Aku mengelap sisa air kopi di mulutku. Reita menarik sebuah kursi coklat dan duduk disebelahku. Menatapku dengan tatapan curiga. Aku hanya terdiam dan melipat kedua tanganku di meja kedai. “Ceritakan. Aku tau kau sedang menyembunyikan suatu perasaan.” Tebaknya ragu-ragu.

Aku mengangkat alis dan mengercutkan bibir. Lebih menyembunyikan perasaan kesepianku lebih dalam. “Mau kopi?” tanyaku membelot dari percakapan yang baru saja diucapkannya. Dia menggenggam tanganku yang hendak memanggil pelayan untuk pesan kopi lagi, aku menepisnya dan mencoba memanggil pelayan lagi. Lagi-lagi reita menahan tangaku dan akhirnya aku menyerah, padahal seharusnya dia berterimakasih padaku yang sudah rela menraktir kopi..

“Kau sakit?” Tanya reita sambil menepakkan tangannya di dahiku perlahan-lahan. Aku mengelak dengan membuang muka ke arah jendela. “tidak.” Jawabku dengan berbisik yang bahkan tidak terdengar oleh diriku sendiri. “ayolah jangan berbohong padaku. Aku bisa menampung kesedihanmu. Kau sedang sedih, bukan? Ayo ceritakan padaku. Aku berjanji aku tidak akan bilang ke siapapun.” Jelas Reita sambil mengacungkan kelingkingnya dan bersumpah padaku. Aku melihat mata hazel nya. Mata yang teduh dan sipit, bahkan hampir hilang (?!) itu. Aku menyetujui perkataannya dengan menjawab tawaran kelingkingnya itu.


“syukurlah” jawab Reita yang menepuk pundakku. Aku masih terdiam sunyi dan tidak berkata-kata sedikitpun. Tanpa mengeluarkan ekspresi secuilpun. “Sekarang, ceritakan.” Lanjutnya.

“a, aku kesepian.” Hanya itu inti yang aku bisa sampaikan padaya. Aku juga tidak mau hatinya terbesit silet tajam jika aku berkata bahwa aku iri terhadapnya dan Ruki, terhadap Aoi dan Uruha. Tapi memang benar, aku kesepian. “Apa yang membuatmu kesepian?” rasanya ini menjadi sebuah interogasi dimana reita ingin mengorek-ngorek permasalahanku alias kepo mode on, Reita memegang pipiku pelan. Kembali aku menepisnya, berharap ruki tidak melihat semua kejadian ini.

“Kau tidak bersama Ruki?” hal yang baru saja kupikirkan menjadi permasalahan baru. “Tidak. Dia di apato ku.” Jawab Reita singkat. “jangan membelot, jawab dulu pertanyaanku.” Lanjut reita cepat. Aku menatapnya dengan tatapan linglung, bingung. Reita menghela nafas, “apa yang membuatmu kesepian?” tanyanya sekali lagi padaku, sambil tersenyum tipis. Aku termenung dengan kejadian tadi pagi. Ralat, kejadian setiap hari. Kejadian dimana AoUru dan Reituki selalu terlihat mesra di satu sofa.. saling membelai dan saling sayang. Aku kesepian, sendirian. Tak ada yang menemaniku selama ini. Lantas apa yang harus kukatakan kepada reita.


“Ya, ya.. Kau tau pasti orang yang kesepian itu kenapa.”

“Hah? Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Maksudku, emm.. Setiap orang pasti tau, alasan kenapa seseorang bisa kesepian.”

“Eung.. aku mengerti, tapi.. apa yang membuatmu kesepian maksudku, iri kah? Atau ditinggal seseorang kah?”

“aku iri”


Mata reita terbelalak. Mereka bilang aku adalah leader yang bijak, sederhana, dan bersahabat, serta penuh canda tawa, murah senyum. Reita mungkin tidak menyangka aku bisa iri seperti ini, mungkin. Tapi aku hanya tetap diam sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal itu. Memendam rasa itu memang sulit, tapi lebih sulit lagi untuk mengutarakannya. Aku menjadi grogi takut Reita menanyakan hal yang lebih dalam lagi. Padahal aku sudah bertekad dari awal bahwa ke-iri-an ku pada Reituki aoru hanya dipendam oleh diriku saja.

“Iri? Sama siapa?”

“eung… ti, dak.” Aku memeras rambut coklatku sendiri sambil menunduk ke meja kedai. Reita mengusap kepalaku sambil tersenyum. “Maafkan aku, bukan maksudku untuk membuatmu stress. Aku tidak akan mengungkit-ngungkit lagi. Sekarang, istirahatlah dan pulang ke apato-mu.” Tawar Reita pelan kepadaku, aku mendongak dari tundukanku dan melihat Reita. Aku mengangguk, aku segera membayar kopi dan rokok, kemudian aku member salam kepada reita, dan meninggalkannya.


~,~,~,~,~,~,~,~,~
,  ,  ,  ,  ,  ,  ,  ,  ,

#gambar diatas ceritanya hujan

“Hujan lagi. Aku tidak bawa mobil..” aku mencibir sambil ngomel dan mulai berlari kecil menuju sebuah halte untuk berteduh. Cuaca kali ini benar-benar tidak bisa diramalkan. Sekarang hujan. Padahal, tadi pagi begitu panas. Maaf, mungkin hanya hatiku yang panas tadi pagi. Aku menatap sekeliling. Air tak henti-henti nya turun ke aspal jalanan. Aku menunggu begitu lama, hingga 2 jam telah berlalu, aku terlelap di kursi halte.

-----

“Kai?” suara seseorang membangunkanku dari alam bawah sadarku. Aku menatap sayup-sayup lelaki jangkung ber-sweater hitam tengah menggoyang-goyangkan  bahuku. Aku mengucek-ngucek mata sambil berusaha mengangkat beban kelopak mataku ini. Rekaman buram di mataku mulai terlihat jelas, mata yang kukenal dengan figur, cantik? Entahlah yang jelas dia itu Uruha yang suka pulang paling terakhir kalau latihan. Rute perjalanan rumahnya hampir sama denganku dan, yah kita bertemu di halte yang sama.

“Uruha” jawabku memanggil namanya juga. Uruha menggaruk tengkuknya pelan sambil berkata padaku, “Kenapa kau masih disini? Bukannya pulang?” Tanya Uruha ragu-ragu padaku. “aku tadi ke kedai kopi. Jadi baru sempat pulang sekarang.” Jawabku singkat. Uruha mengangguk pelan sambil memakai earbud ungu kesukaannya. “Kau liat reita? Katanya, dia belum pulang.”


“Tadi dia bersamaku di kedai kopi tapi entah sekarang dia dimana.” Aku menatap hujan yang mulai berhenti, dan pada waktu yang tepat aku mulai berjalan sendirian pulang ke rumah. “hey Kai!” Uruha menyusul langkahku dan memegang pundakku.


“Mau pulang bersamaku?”


“Boleh. Terima kasih.”


“Kamu kenapa? Kok dari kemarin murung terus?” Uruha menatapku cemas. Bukan dari kemaren, emang dari dulu wajahku selalu mendung sejak pairing mereka booming di mata sixth Guns. Wajahku yang lesu mungkin memperlihatkan otakku yang sedang ruwet. Aku hanya (berusaha) tersenyum simpul dan menggeleng dihadapannya. Menampilkan senyum palsu dan berusaha menutup lubang di hati ini. Aku pun berjalan dengannya.


___Normal PoV___

Uruha menelfon Reita ketika Kai telah masuk ke apato-nya. Dengan nafas terengah-engah dan tampilan mencemaskan, Uruha mengutak-ngatik handphone nya untuk memberi sms kepada reita karena telfon yang barusan tidak diangkat.

To. Reita pesek

Rei, aku cemas sama Kai. Dia terlihat murung dan pendiam, tidak seperti dulu.. sering tertawa dan selalu menjadi bahan lelucon. Kenapa ya dia?


(reita’s condition)

Reita baru saja mendapat sms dari Uruha, sang lead guitar.

From. Uruha

Rei, aku cemas sama Kai. Dia terlihat murung dan pendiam, tidak seperti dulu.. sering tertawa dan selalu menjadi bahan lelucon. Kenapa ya dia?


“Ah, Uruha ini..” Pekik Reita sambil memikirkan kejadian di kedai kopi tadi. Kai yang kesepian karena iri? Apakah reita harus memberitahu Uruha masalah ini? Yang jelas, hanya Reita yang tau. Dan Reita sendiri yang berjanji kepada Kai bahwa ia tidak akan bilang ke orang lain.

“daripada masalah ini meluas, lebih baik aku bilang tidak tau.” Reita mulai menjawab sms sambil menggaruk lehernya.

(uruha’s condition)

Tak lama kemudian sebuah dengkringan menggetarkan hp Uruha. Dilihatnya hp flip hitam itu dan terlihat sebuah sms balasan dari reita.

From. Reita pesek

Aku kurang tau Uru. Di kedai kopi juga dia terlihat suram dan tidak ingin banyak bicara.

Uruha hanya mengangguk dan termenung dengan sms itu. Dia berdiri diam di depan apato Kai, dimana Kai tinggal sendirian di kamarnya. Uruha menghela nafas sambil menyeka keringat di pipinya yang mengalir entah kenapa. Panik, mungkin? Atau cemas? Entahlah, yang jelas perlakuan Kai barusan membuatnya berfikir keras akan apa yang terjadi padanya, begitu pula reita

___Normal PoV END___


Aku memasukkan kartu yang dikiranya sebagai kunci oleh penghuni apato disini. Mencabutnya, kemudian mendorong knob door yang setia menempel di pintu kamarku. Huft, capek rasanya. Hati panas 2 setengah jam, kedinginan 2 jam, dan sekarang, akhirnya aku dapat membanting tubuhku di kasur normal size milikku ini.

BRUK

Huft.. Aku melingkarkan kedua tanganku di guling. Membenamkan kepalaku di bantal sambil menghela nafas panjang, hari ini begitu sulit.. semakin sulit menahan rasa sakit ini. Tanpa diundang  pun, air mata sudah menggantung di sudut mataku dan mengalir pelan ke pipiku. Oh, tidak. Hatiku sudah berguncang. Rasanya ingin bunuh diri saja. Tapi, tapi aku masih punya masa depan. Ah, kenapa diriku menjadi plin plan begini. Aku terisak, makin membenamkan kepalaku di bantal agar tidak terdengar seorangpun. Tanpa disadari aku terlelap akan tangis itu.


3 jam kemudian…


Tok tok tok


Aku memicingkan mataku yang setengah terlelap. Aku berdiri dan terhuyung-huyung menuju pintu. Aku membuka pintu pelan. Apa yang ditatap ku sekarang ini? Reita, Ruki, Aoi, dan Uruha tengah menatapku cemas. Mataku yang bengkak dan hidungku yang merah telah menjelaskan semua. Aku sedang sedih, mereka menatapku semakin sayu dan iba. “masuk” sapaku pelan sambil memberi jalan kepada mereka. Saat masuk mereka tetap menatapku. Aku semakin merunduk dan membuang muka, kemudian berpura-pura tidak melihat mereka karena sedang menutup pintu.

“Aku serius. Kau kenapa?” Reita angkat bicara terlebih dahulu. Aku menatapnya pelan dan menggeleng. “ Tolonglah jangan berbohong kami semua khawatir padamu.” Lanjut Uruha. Aku kembali menggeleng dan membuka kulkas untuk menyiapkan makanan untuk mereka.


“Kami tau apa yang engkau alami.” Jawab Aoi sambil memainkan rambut hitam pekat miliknya dan meilhatku. Aku terbelalak dengan apa yang Aoi ucapkan. “a—pa, maksudmu?” aku menaikkan alis tidak percaya. “Reita. Reita telah menceritakannya pada kami. Tidak lazim jika kesedihan leader tidak ditampung oleh semua member. Kumohon ceritakan yang sebenarnya.” Jawab Aoi lagi. Aku menunduk, Uruha menghampiriku dan menggandeng ku ke kasur. Kini kami saling mengunci bibir dan tidak saling menatap.


--Flashback on--

Uruha yang masih risih dengan perilaku Kai belakangan ini membuatnya terdorong untuk merumuskan ini dengan para member lainnya, akhirnya Uruha menelfon Aoi dan Ruki, serta meng-sms Reita untuk bertemu dengannya di rumah Uruha.

#berselang 1 jam

“Mm , mungkin ini hal yang biasa tapi lama-lama aku sedikit cemas pada Kai. Ada yang merasakan hal yang serupa denganku?” Tanya uruha pada rekan2nya. Reita menunjuk dirinya sendiri, sambil terdiam. Berselang beberapa detik Reita pun buka mulut, “aku bukan bermaksud ingkar janji, aku telah berjanji pada Kai untuk tidak memberitahu ini ke siapa-siapa.”

“tentang apa?” kata Ruki memotong.

“Hush. Diam dulu makanya.. aku tadi diam-diam menyusul Kai yang ternyata di kedai kopi. Lalu aku berbincang dengannya.”

“Berbincang apa?” kata ruki nyolot lagi.

“Diem dulu bisa gak sih?!” celetuk aoi sambil masukin Ruki ke karung beras.

“Aku bertanya padanya, katanya dia merasa kesepian. Dia merasa kesepian karena iri. Hanya itu yang aku tau.” Kata reita sambil mengangkat bahunya. “Kai itu orangnya terbuka tapi tertutup sekali ya..” urai Uruha #switdrop

“Aku merasa, dia kesepian karena kita.” Lanjut Reita sok jadi detektif. Ruki yang sedang di dalam karung beras itu meletakkan telunjuknya di bibirnya sendiri sambil berfikir panjang. Aoi hanya terlihat linglung akan permasalahan yang reita bicarakan ‘kesepian karena kita’ sambil menghisap rokoknya.

“Kau kira begitu?” Tanya Uruha gak mau kalah detektif nya.

“Iya, maksudku.. Mungkin pairing kita membuatnya menjadi… sen..”

“sitif?” lanjut reita berbisik begitu pelan.


“aku kurang tau.. bagaimana kalau kita samperin Kai sekarang juga?” Tanya Aoi to the point. Reita dan uruha hanya diam sebentar lalu mereka mengangguk setuju. Akhirnya mereka memutuskan untuk ke apato-nya Kai. Tidak lupa Aoi senantiasa menyeret Ruki yang bobo di dalam karung.

--Flashback off--


“a—aku..” aku menggigit bibir. Sontak semua menghadap padaku dan mata-hazel mereka benar-benar memancarkan rasa penasaran yang dalam. Aku kembali menunduk, benar-benar grogi. Yang jadi masalah aku disuruh menceritakan kekesalanku kepada mereka sendiri. Kepada orang yang aku kesali, yang dijadikan aku sebagai bahan iri. Aku menahan ledakkan hati dan tangis yang sudah diujung perasaanku ini, takut aku naik pitam dan tidak terkendali. “Maafkan aku.” Aku berkeputusan untuk berlutut dihadapan mereka ber-empat sambil mengatupkan kedua telapak tanganku layaknya orang hindu yang sedang menyembah dewanya. Ruki kaget akan perlakuanku dan dia segera merangkulku, “Kau ini kenapa??” Ruki menggoncang tubuhku sambil menepuk punggungku. Aku tetap diam sambil menahan tubuhku untuk tetap seperti itu dan tidak merubah posisi tubuhku.


“Jangan bilang kau kesal pada kami” sontak Reita jongkok dan mengankat daguku. Wajahku sudah merah dan mataku yang tadi sudah bengkak malah mengeluarkan air mata yang lebih deras lagi. Perasaan yang tidak pernah terpancarkan dari diriku. Aku menggeleng. “aku ti, dak ke—sal pada ka, lian..” uraiku sambil terisak keras. Aku menurunkan tanganku yang tadi menyembah-nyebah mereka. Aoi menatapku cemas dan iba, dan air mata mulai menggantung di mata hazel Uruha.

“Maaf, tapi aku.. aku kesepian karena, karena ka, lian selalu bersenang2 sendiri.. ralat, berdua. Hiks, hiks.. reita dan ruki, aoi dan uru.. ya, a—ku hanya merasa.. sepi.. hiks,, hiks,, gomen..” akhirnya aku mulai menjelaskan permasalahanku pelan tapi pasti. Aku menunduk dalam, menyembunyikan tangisanku yang semakin membara.


“Kai—“ Ruki kaget dengan apa yang tengah aku bicarakan.

“Kai, maafkan kami. Ha—harusnya kami yang minta maaf padamu..” Uruha menghampiriku dan memelukku erat. Aku membenamkan wajahku pada dada bidang miliknya yang terbalut sweater hitam. “Gomenasai ne.. Maafkan kami.” Lanjut aoi, reita, dan ruki kemudian. “Kami kira kau biasa saja dengan permasalahan ini.. maaf..” kata aoi sekali lagi. Air mataku mengalir deras, terserap kaus Uruha.


“Kai, kau tau? Justru kau lah yang paling berharga disini. Melebihi berharganya partner kami masing-masing. Kami lebih sayang kau daripada partner kami. Karena kau yang selama ini mengurus kami, ya? Jangan sedih lagi ya?” kata Uruha menjelaskan langsung kena timpuk sama aoi.

“ittaii.. #sakiitt..” Uruha mengusap-ngusap kepala berbalut rambut coklat blonde miliknya. “Bukan begitu.. Kita semua saling mencintai. Bukan berarti mencintai Kai lebih dari member2 lain, bego.. satu band itu cinta nya harus merata.. tenang kok, kita juga mencintaimu kai <3 “ kata aoi melengkapi. Aku mulai mendongak dari pelukan Uruha dan hanya terbengong-bengong. “Uwwooohhh.. Kai-chuu~~ sayang ayank kaiii~~” ruki mengelus-ngelus rambut hitam pekat ku dan menciumi ubun2 ku (ruki ketularan alay pake ayank ayank segala)

“Eee,, gomenasai ne.. Kita semua sayang Kai kok..” reita mengusap pipiku. Yang membuat wajahku bersemu, merona. Aoi mengajakku berjabat tangan. Wah, ternyata selama ini aku salah paham. Aku tidak berfikir panjang tentang kesatuan sebuah organisasi mau itu sebuah lembaga atau pun itu sebuah band, tapi rasa cinta tetap dibutuhkan secara merata dan tetap diberikan secara menyeluruh. Aku sayang the GazettE, aku sayang Ruki, Reita, Aoi, Uruha. Dan aku juga sayang sama kamu, baik itu Sixth Guns ataupun yang sekedar numpang baca ff ini.. aku senang. Aku bersumpah, aku senang.


Aku memejamkan mataku. Terbesit rasa bahagia yang mulai menambal lubang demi lubang yang tercetak di hatiku. Aku tersenyum. Mereka memelukku bersamaan. Hangat. Tuhann.. aku benar-benar mencintai mereka. Tak ada rasa iri lagi di hatiku. Aku menjawab pelukan mereka. Sungguh, rasa ini.. Berpelukan dengan orang2 yang kucinta,,


-OWARI-

Huahahaha!! #plok
sengaja saia post ff pertama tentang suami saia #colek kai XDD
Wiii… ancur deh nie ff.. Kritik dan saran diperlukan.. maap kalo ada typo..sankyuu ^^
oh iya, ini bagi yang mau baca sequelnya: http://hanakaigaze.blogspot.com/2013/01/rainy-days-oneshoot-sequel-of-does.html



OLDERNEWER


Posting Komentar